SELAMAT DATANG DI PENGETAHUAN ILMU HUKUM

iPHK

Selasa, 06 Oktober 2015

HUKUM TATA NEGARA

KONSTITUSIONALISME DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA

PENDAHULUAN
Dalam istilah Yunani kuno ada dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian konstitusi yaitu “Politeia” dan bahasa latin “Constitutio”. Dalam kedua kata tersebut muncullah awal mula gagasan konstitusionalisme dalam sejarah klasik. Menurut Aristoteles[i], klasifikasi konstitusi tergantung pada “the ends pursued by states, and the kind of authority exercised by their government” (tujuan dari pembentukan negara dan jenis kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahnya). Aristoteles telah membedakan antara “right constitusion” dengan “wrong constitusion” dengan ukuran tujuan tertinggi dari negara yakni adalah “a good life” kesejahteraan yang diwujudkan dengan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat bukan konstitusi yang dibentuk untuk tujuan pemenuhan kepentingan para penguasa “perverted constitusion” atau “the selfish interest of the ruling authority”.
Di zaman Romawi kuno konstitusi mulai dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar dan bahkan diatas negara. Konstitusi mulai dipahami sebagai “Lex” yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip “The Higher Law”. Hal ini karena mendapat pengaruh dari Cicero yang memperkenalkan hasil pemikirannya dengan mengartikan bahwa Negara sebagai suatu “a bond of law” vinculum juris sehingga hukum tidak hanya dilihat sebagai elemen suatu negara tetapi merupakan “an antecedent law”.
Di dalam sejarah Islam konstitusionalisme juga dapat dipelajari dari isi yang terkandung didalam Piagam Madinah. Sebagai piagam tertulis pertama umat manusia yang dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad, SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Yasrib, pada tahun 622 Masehi. secara keseluruhan piagam ini berisi dua nilai dasar konstitusionalisme pada zaman itu yang pertama adalah persamaan dihadapan hukum yang tertuang dalam prinsip persatuan ketigabelas golongan etnis dan suku di dalam kota Madinah untuk bahu-membahu melakukan pertahanan atas kelompok yang akan menyerang kota Madinah tanpa membedakan jenis keturunannya Arab atau Yahudi atau asal agamanya maupun tempat kelahirannya apakah itu muslim muhajirin ataukah muslim anshar semuanya bersatu dengan prinsip persatuan yang termaktub dalam pasal satu Piagam Madinah “innahum ummatan wahidatan min duuni al-naas[ii] atau sesungguhnya mereka adalah umat yang satu lain dari komunitas manusia yang lain.
Prinsip kedua adalah prinsip kebebasan yang terdapat dalm kebebasan beragama prinsip ini menjelaskan hubungan antara ketigabelas golongan tersebut bahwa dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan telah dijamin kebebasan beragama. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Mukminin agama mereka merupakan tafsiran dari rumusan Al Qur’an yakni “lakum diinukum walyadiin” bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Kedua prinsip ini adalah prinsip yang wajib dijaga sehingga penentangan terhadap prinsip tersebut baik itu dari golongan manapun akan dianggap sebagai zalim dan khianat.
Konstitusionalisme modern juga menganut prinsip-prinsip yang sama dengan yang tercantum dalam Piagam Madinah walaupun sudah lebih dikembangkan dengan tujuan negara yang lebih kompleks daripada pada masa abad pertengahan. Menurut Friedrich konstitusionalisme modern didefinisikan sebagai “an institusionalised sistem of effective, regularized restrain upon governmental action” yaitu suatu sistem yang terlembagakan menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap tindakan-tindakan pemerintahan. Dengan demikian menurut friedrich persoalan yang terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pembatasan kekuasaan pemerintahan yang berbasis pokok pada kesepakatan umum atau persetujuan “consensus” diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.
Konsep ideal bangunan negara inilah yang di rangkum dalam konstitusionalisme yaitu memandang konstitusi tidak sekedar dari sah dan berlakunya suatu norma dasar tersebut namun dilihat dari “right or wrong constitusion” atau dalam bahasa yang lebih mudah Aristoteles menyederhanakannya menjadi “konstitusi yang normal” dan “konstitusi yang tidak normal”. Normal artinya konstitusi tersebut mengandung prinsip-prinsip yang baik dan berlaku universal bagi seluruh bangsa bahwa nilai-nilai yang terkandung mengandung nilai-nilai yang baik dan bernuansa keadaban. Nilai-nilai konstitusionalisme modern menurut Dr. Hardjono juga dapat dibedakan menjadi sifat kekhasannya ada yang berlaku universal dan ada yang unik tergantung pada setiap kesepakatan umum negara bangsa (nation state), namun hal yang unik tersebut tidak boleh bertentangan dengan yang universal agar konstitusi yang dihasilkan tidak menjadi konstitusi yang buruk.
Nilai-nilai universal konstitusionalsime menurut Dr. Harjono harus memuat prinsip-prinsip persamaan, (equalitiy before the law) prinsip kebebasan, rule of law dan demokrasi. Lebih lanjut menurut Dr. Harjono konstitusionalisme inilah yang membedakan Konstitusi Korea Utara dan Konstitusi Korea Selatan atau bahkan Konstitusi Korea Utara dengan Konstitusi Indonesia sekalipun. Benar bahwa konstitui masing-masing negara adalah sah karena telah dibuat dan disahkan oleh lembaga yang berwenang namun konstitusionalisme sebagai isme memandang tidak semua konstitusi itu baik ada juga konstitusi yang buruk.  Berdasarkan pola pemikiran tersebut diatas menjadi menarik bagi penulis untuk menelisik lebih jauh tentang konstitusionalisme dalam konstitusi di Indonesia.


RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah konstitusionalisme dalam konstitusi di Indonesia?

PEMBAHASAN
Pasca proklamasi 17 Agustus 1945 Indonesia secara resmi mensahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai staatfundamental norm atau ground norm dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Walaupun Undang-Undang Dasar ini telah melalui proses panjang antara antinomi kepentingan-kepentingan baik itu Kaum Islam, Kaum Nasionalis dan Kaum Komunis di dalam Sidang Konstituante ditahun 1955 ternyata melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan kembali sebagai dasar negara yang tetap berlaku hingga kini.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 terkandung pembukaan, dan batang tubuh pasal-pasal yang mana dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar telah dilakukan perubahan amandemen sebanyak empat kali namun telah disepakati bersama untuk pembukaan tidak diperbolehkan untuk diamandemen karena merubah pembukaan sama saja artinya dengan mengubah negara atau meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan pandangan Dr. Hardjono konstitusionalisme selain memiliki nilai-nilai yang universal juga dapat memiliki nilai-nilai nasional atau disebut konstitusionalisme nasional. Di Indonesia konstitusionalisme nasional dapat di lihat dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Konstitusionalisme nasional Indonesia dapat dilihat dari hakikat tujuan dari dibentuknya konstitusi dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dari segi hakikat perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu perdebatan panjang mengenai bentuk dan Dasar Negara Indonesia yang  berlangsung di Sidang-Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), suatu badan yang dibentuk Pemerintah Militer Jepang pada bulan April 1945. Dalam perdebatan-perdebatan para founding father tersebut yang tergabung baik dalam BPUPKI dan PPKI terumus berbagai model dan pemikiran-pemikiran nasionalisme yang telah ada untuk dicari padanannya dan diambil intisari sebagai contoh bagi Bangsa Indonesia yang baru lahir.
Konstitusionalisme Indonesia akhirnya menolak konsep konstitusi model Barat sekaligus model Islam yang berasal dari Timur-Tengah. Tesis utamanya adalah bahwa dasar negara dan model negara harus ditemukan dari dalam diri Bangsa Indonesia sendiri, atas dasar khas Indonesia. Pandangan yang kemudian menonjol dan menjadi rumusan dasar negara adalah pandangan Soepomo dan pandangan Soekarno. Soepomo tampil dengan gagasan negara integralistik sementara Soekarno dengan gagasan Pancasila. Gagasan Soepomo dan Soekarno yang dinilai kemudian banyak menjiwai penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, dengan konsep-konsep seperti kekeluargaan dan gotong royong.
Dari segi nilai-nilai yang terkandung didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 konstitusionalisme nasional Indonesia menggambarkan nilai-nilai luhur perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Perjuangan ini adalah perjuangan tak kenal lelah dari para pendahulu-pendahulu bangsa dari penindasan penjajahan selama 350 tahun. Menurut Dr. Busjro Muqoddas setidak-tidaknya ada tiga nilai utama dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yakni nilai Transendental, Nilai Humanisasi dan Nilai Liberalisasi.
Nilai-nilai Transendental adalah nilai religiusitas dari bangsa Indonesia yang memandang kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlepas dari rahmat dan skenario ilahiah bukan hanya berasal dari usaha keras semata. Dapat dilihat dalam alinea ketiga pembukaan undang-undang dasar 1945 “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Nilai Humanisasi adalah suatu pendobrakan terhadap sendi-sendi hukum kolonial dan merupakan usaha untuk menaikkan derajat dan harkat bangsa Indonesia kembali menjadi bangsa yang memiliki nilai-nilai keadaban dan setara dengan bangsa-bangsa lain sebagaimana saat sebelum Bangsa Indonesia mengalami penjajahan tercantum dalam alinea pertama, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Terakhir Nilai Liberalisasi adalah mengenai ideologi pemerdekaan, pembebasan terhadap belenggu-belenggu kolonial yang telah mengkerdilkan bangsa Indonesia menjadi hanya sapi perahan dan suatu bangsa yang yang dijadikan komoditas terutama oleh imperialisme dan kolonialisme dan ini semua terangkum dalam alinea kedua, “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Nilai-nilai transcendental, humanis dan liberalisasi di dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini diwujudkan dalam bentuk suatu pemerintahan atau lahirnya Republik Indonesia yang bekedaulatan rakyat dan berkedaulatan hukum yang memuat sumber tertinggi dari hukum itu pada lima prinsip atau Pancasila “dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sehingga tujuan akhir dari konstitusionalisme Indonesia adalah untuk membentuk masyarakat Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dan sesuai dengan tujuan negara yakni “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Untuk mewujudkan konstitusionalisme sebagai nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia maka diperlukan sebuah badan pemerintahan sebgai guardian power atau pengawal konstitusi.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat konstitusi di negara manapun di dunia bukanlah undang-undang biasa karena ia tidak ditetapkan oleh badan legistlatif namun oleh suatu badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya sehingga apabila norma-norma undang-undang bertentangan dengan norma konstitusi lebih-lebih dengan konstitusionalisme nasional maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang berlaku dan undang-undang harus memberikan jalan untuk itu (it prevails and the ordinary law must give away)[iii]. Di Amerika,  Mahkamah Agung Amerika Serikat lah yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi peraturan produk legislatif (judicial power) terhadap materi konstitusi meskipun Konstitusi Amerika  secara eksplisit tidak memberikan kewenagan tersebut kepada Mahkamah Agung (the supreme court).
Di Indonesia pembentukan suatu badan yang dapat memiliki kewenangan judicial review terhadap undang-undang dilakukan setelah reformasi berupa amandemen keempat terhadap batang tubuh Undang-Undang Dasar khususnya Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dimana ada dua mahkamah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Sejak terbentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 mulailah mengalir gugatan-gugatan warganegara terhadap undang-undang yang dinilai telah menyimpang dari konstitusi dan tidak kontitusional pemberlakukannya di Indonesia. Ini dapat dipahami sebab sesuai dengan disertasi Prof. Mahfud MD bahwa hukum adalah produk politik sehingga ada saatnya hukum berada pada variable terpengaruh (dependent variable)[iv] dari politik yaitu saat pembentukan undang-undang di legislatif yang mana merupakan kristalisasi dari kepentingan-kepentingan politik yang dibawa oleh masing-masing fraksi di DPR.
Oleh karena itu konstitusionalisme di Indonesia kini telah memasuki babak baru tidak hanya dipahami sebagai nilia-nilai yang tercantum dalam teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 namun juga telah ditegakan, dilindungi, diawasi, dan dijadikan batu uji terhadap pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Bagaimana tidak?, kini seorang warganegara Indonesia yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar oleh pembentukan perundang-undangan yang dilakukan oleh 500 anggota DPR dapat mengadukan dan memohonkan pembatalannya kepada sembilan orang hakim konstitusi (the guardian of constitusion).

KESIMPULAN
Konstitusionalisme dalam konstitusi di Indonesia dapat dilihat dari hakikat tujuan dari dibentuknya konstitusi dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dari segi hakikat perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu perdebatan panjang mengenai bentuk dan Dasar Negara Indonesia yang  berlangsung di Sidang-Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), suatu badan yang dibentuk Pemerintah Militer Jepang pada bulan April 1945. Dalam perdebatan-perdebatan para founding father tersebut yang tergabung baik dalam BPUPKI dan PPKI terumus berbagai model dan pemikiran-pemikiran nasionalisme yang telah ada untuk dicari padanannya dan diambil intisari sebagai contoh bagi bangsa Indonesia yang baru lahir.
Dari segi nilai-nilai yang terkandung didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 konstitusionalisme nasional Indonesia menggambarkan nilai-nilai luhur perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Perjuangan ini adalah perjuangan tak kenal lelah dari para pendahulu-pendahulu bangsa dari penindasan penjajahan selama 350 tahun. Menurut Dr. Busjro Muqoddas setidak-tidaknya ada tiga nilai utama dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yakni Nilai Transendental, Nilai Humanisasi dan Nilai Liberalisasi.
Konstitusionalisme di Indonesia telah memasuki babak baru sejak terbentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 yakni tidak hanya dipahami sebagai nilai-nilai yang tercantum dalam teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 namun juga telah ditegakan, dilindungi, diawasi, dan dijadikan batu uji terhadap pembentukan perundang-undangan di Indonesia oleh sembilan orang hakim konstitusi sebagai the guardian of constitusion.





[i] Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dalam http://www.jimly.com/, Akses 11 Agustus 2015.
[ii] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid Satu, (Jakarta: Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm. 108.
[iii] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum … op.cit, hlm. 173.
[iv] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Keenam, (Depok: Rajawali Press, 2014), hlm. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar