SELAMAT DATANG DI PENGETAHUAN ILMU HUKUM

iPHK

Senin, 25 Mei 2015

Filsafat Hukum

Hubungan antara Revolusi Sosial dengan Kebijakan-Kebijakan Negara yang Berbasis Pada Filsafat Hukum

Oleh : Yuristyawan Pambudi Wicaksana, SH




Filsafat secara etimologis berasal dari dua kata yaitu philos, philein, phila yang berarti cinta atau keinginan dan sophia yang berarti kebijaksanaan bila disatukan adalah mencintai kebijaksanaan atau menginginkan kebijaksanaan[1]. Secara terminologis filsafat berarti suatu kegiatan intelektual, yang metodis dan sistematis, melalui jalan refleksi menangkap makna yang hakiki keseluruhan yang ada dan gejala-gejala yang termasuk keseluruhan itu[2]. Berfikir filsafat menurut Dr. Busjro Muqoddas adalah berfikir untuk
mencari kebenaran, namun harus didukung oleh empat ciri dari filsafat yaitu pola pikir yang radikal, logik, integral dan sistematik.
Bidang kajian filsafat sangat luas meliputi seluruh dimensi baik itu yang digolongkan dalam dimensi empiris (phenomena) dan dimensi diluar empiris yaitu methaphisik (nomena). Filsafat dikatakan sebagai induk dari ilmu pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan bidang kajiannya hanya terbatas pada wilayah phenomena atau dimensi empiris. Hukum sebagai ilmu pengetahuan hanya menyentuh phenomena atau kajian-kajian formal dalam kaidah-kaidah normatif peraturan perundang-undangan, namun apabila hukum dalam kedudukannya sebagai filsafat hukum maka bidang kajiannya sudah melampaui sifat formal yaitu meliputi pula substansi makna dibalik teks-teks norma yang berlaku yaitu asas-asas atau nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Apabila kita sepakat dengan pendapat Gustav Radbruch tugas filsafat hukum adalah “merumuskan cita-cita politik dalam pengertian-pengertian keadilan dan tata hukum”, maka nilai-nilai yang dimaksud untuk digali dalam setiap kebijakan negara adalah nilai-nilai keadilan.
Keadilan sendiri merupakan suatu nilai asasi yang bermakna luas. Para pakar hukum sendiri saling memaknai keadilan sesuai dengan ruang dan waktu terlihat berbeda dari segi definisi namun apabila ditinjau dari segi kesamaanya ada intisari yang dapat ditarik didalamnya. Keadilan menurut Dr. Busjro Muqoddas disederhanakan berupa tindakan untuk “menempatkan atau tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya”, yang mana keadilan sendiri dipengaruhi oleh ruang atau situasi dan waktu atau kondisi dimana keadilan itu diberlakukan, suatu perbuatan bisa dikatakan adil dalam situasi dan kondisi tertentu belum tentu dapat dikatakan adil pula dalam situasi dan kondisi lain yang berbeda.
Keadilan disatu sisi bahkan dapat ditafsirkan sangat berbeda-beda dari satu individu dengan individu yang lain dikarenakan kecendrungan masing-masing pada kepentingan diri sendiri dengan tujuan dan sasaran yang berbeda-beda, disisi lain justru  karena kecendrungan individu-individu pada kepentingan diri sendiri memerlukan saling perhatian satu sama lain karena penafsiran keadilan yang sebebas-bebasnya oleh satu individu dapat menimbulkan kesewenang-wenangan bagi individu-individu yang lain oleh karena itu menimbulkan kebutuhan akan pembatasan-pembatasan yang merupakan konsepsi bersama mengenai keadilan yaitu seperangkat prinsip untuk memberikan hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban dasar atas kebutuhan untuk bagaimana keuntungan dan beban masyarakat didistribusikan.
Terbentuknya konsepsi bersama mengenai keadilan melahirkan kontrak fundamental dari asosiasi manusia yang tertata dengan baik. Hal ini sesuai dengan teori kontrak sosial yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes, John Locke dan J. J.Rosseau[3] yang menyatakan bahwasanya pendirian suatu negara serta perolehan kekuasaan berasal dari kesepakatan, perjanjian dan kontrak rakyat pada sang penguasa yang kemudian mendirikan suatu negara yang mana John Rawls[4] menambahkan tujuan dari kesepakatan itu, atau tujuan dari kontrak rakyat itu adalah mewujudkan prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat.
Negara sebagai wujud sebuah tatanan masyarakat yang baik tidak hanya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan warga negaranya namun juga harus secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yakni konsepsi dimana setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain dalam satu kesatuan asosiasi masyarakatnya menganut prinsip keadilan yang sama, serta berdasarkan konsepsi tersebut institusi-institusi sosial dasar terbentuk dan sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Tentunya konsepsi publik mengenai keadilan ini akan berbeda-beda antara suatu tatanan masyarakat dengan tatanan masyarakat lain sesuai dengan unsur-unsur masyarakat yang membentuk kontrak sosial dalam mewujudkan negaranya masing-masing.
Dapat dipahami Indonesia sejak kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 telah sepakat untuk menjadikan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kontrak sosialnya yang mana didalamnya terkandung konsepsi bersama mengenai keadilan untuk mewujudkan kesejahteraan serta prinsip-prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagai kontrak sosial Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar ini tidak dapat dirubah oleh karena itu penempatannya dalam sistem hukum Indonesia ditempatkan sebagai Staatfundamentalnorm atau norma hukum dasar yang mendasari norma-norma yang berada dibawahnya. Perubahan terhadap Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar ini maka akan menghancurkan kontrak sosial pembentukan Negara Republik Indonesia itu sendiri, oleh karena itu Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan batu uji prinsip-prinsip keadilan dalam realitas politik (kekuasaan negara dalam bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang mencerminkan pengejawantahan ruh, falsafah dan ideologi nasionalisme agar berjalan sesuai dengan rel yang benar.
Dapat disimpulkan dari uraian-uraian diatas bahwa Filsafat Hukum Indonesia adalah usaha mencari kebenaran dengan menjadikan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai batu uji terhadap realitas politik berbangsa dan bernegara yang mencerminkan pengejawantahan ruh, falsafah dan ideologi nasionalisme demi terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesejahteraan dan keadilan tersebut tidak akan terwujud apabila kebijakan-kebijakan negara yang timbul tidak mengindahkan tujuan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945[5]. Timbulnya perlawanan-perlawanan masyarakat Indonesia terhadap kebijakan-kebijakan negara yang tidak menimbulkan kesejahteraan dan keadilan dapat dipahami sebagai usaha-usaha rakyat dalam menuntut terpenuhinya kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk antara rakyat dan penguasa dalam hal ini pemerintah (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dalam kontrak sosial sebagai awal pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Disinilah titik pertemuan filsafat hukum dan revolusi sosial yang mana dirumuskan oleh Gustav Radbruch sebagai, “Semua perubahan politik yang besar telah dipersiapkan sebelumnya atau dipengaruhi filsafat hukum. Filsafat hukum ada pada tahap awal ,  dan revolusi di tahap akhir “.
Kebijakan-kebijakan Negara yang bertentangan dengan isi dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 akan menimbulkan gejolak sosial dimasyarakat yang memunculkan dikotomi-dikotomi sosial baik itu pada bidang ekonomi antara pemilik modal atau masyarakat yang mengusai sumber-sumber produksi dan masyarakat bawah yang tidak menguasainya atau pada bidang politik antara masyarakat yang memiliki kekuasaan dengan mereka yang termarginalkan oleh kekuasan.
Gejolak masyarakat yang resah akan kesejahteraan dan keadilan yang diidam-idamkan sebagai konsekuensi janji yang harus diwujudkan dalam kontrak sosial akan menghasilkan revolusi sosial yang akan mengembalikan tatanan-tatanan hukum, sosial, ekonomi dan politik kembali sejalan dengan tujuan negara yang diamanahkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Revolusi sosial pasca kemerdekaan Republik Indonesia tidak lagi melibatkan kekerasan dan perjuangan berdarah namun lebih kepada radikalisme proses sadar diri yaitu tahapan moral yang setiap orang secara individu berani sadar pada otonominya. Menurut pandangan Dr. Mutiullah[6] model revolusi ini memiliki dua dimensi yaitu dimensi individual dan dimensi sosial. Dimensi individual terjadi apabila tiap-tiap orang melakukan proses eksistensi diri tidak hanya dengan mendidik diri hingga tercerahkan budinya, tetapi terpupuk pula intuisi akal sehatnya untuk menolak setiap irasionalitas yang membelenggu, sementara dimensi sosial adalah kesadaran individu yang berkembang menjadi kesadaran sosial dimana kesadaran bersama ini terus berkembang menjadi kesadaran untuk memperjuangkan kepentingan pemerdekaan guna mewujudkan perubahan sistem negara hukum yang berprinsip keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Di Indonesia bentuk-bentuk dari revolusi sosial ini dapat berupa revolusi masyarakat dan perubahan konfigurasi politik Era Orde Lama ke Orde Baru, Era Orde Baru ke Era Reformasi dan untuk lingkup yang lebih kecil adalah tuntutan-tuntutan Judicial Review dan Toetsing Recht dari masyarakat terhadap peraturan-perundang-undangan atau kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan ruh, falsafah dan ideologi nasionalisme ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung serta Peradilan Tata Usaha Negara dibawahnya.




[1] Catatan Perkuliahan Filsafat Hukum Islam Dr. Rohidin, Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
[2] Ibid,
[3] Isnan Affandi, http://www.academia.edu/4652137/ Teori_Kontrak_Sosial_Thomas_Hobbes_dan_ John_ Locke_ Isnan.
[4] John Rawls, “Teori Keadilan (dasar-dasar filsafat politik untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dalam negara)”, Cetakan II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 12.
[5] Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 juga tercantum sendi-sendi negara yaitu Pancasila oleh karena itu penyebutan pembukaan Undang-Undang Dasar dalam tulisan ini sekaligus berarti Pancasila sebagai sendi negara.
[6] Mutiullah, “Pemikiran Ali Syari'ati Tentang Revolusi dalam Perspektif Filsafat Sosial dan Relevansinya dengan Perubahan Sosial di Indonesia”, (Fakultas Filsafat UGM : Disertasi, 2013), hlm. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar