KONSTITUSIONALISME DALAM KONSTITUSI DI INDONESIA
PENDAHULUAN
Dalam istilah Yunani kuno ada dua perkataan yang berkaitan erat dengan
pengertian konstitusi yaitu “Politeia”
dan bahasa latin “Constitutio”. Dalam
kedua kata tersebut muncullah awal mula gagasan konstitusionalisme dalam
sejarah klasik. Menurut Aristoteles[i],
klasifikasi konstitusi tergantung pada “the
ends pursued by states, and the kind of authority exercised by their government”
(tujuan dari pembentukan negara dan jenis kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintahnya). Aristoteles telah membedakan antara “right constitusion” dengan “wrong
constitusion” dengan ukuran tujuan tertinggi dari negara yakni adalah “a good life” kesejahteraan yang
diwujudkan dengan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat bukan konstitusi
yang dibentuk untuk tujuan pemenuhan kepentingan para penguasa “perverted constitusion” atau “the selfish interest of the ruling authority”.
Di zaman Romawi kuno konstitusi mulai dipahami sebagai sesuatu yang berada
di luar dan bahkan diatas negara. Konstitusi mulai dipahami sebagai “Lex” yang menentukan bagaimana bangunan
kenegaraan harus dikembangkan sesuai dengan prinsip “The Higher Law”. Hal ini karena mendapat pengaruh dari Cicero yang
memperkenalkan hasil pemikirannya dengan mengartikan bahwa Negara sebagai suatu
“a bond of law” vinculum juris
sehingga hukum tidak hanya dilihat sebagai elemen suatu negara tetapi merupakan
“an antecedent law”.
Di dalam sejarah Islam konstitusionalisme juga dapat dipelajari dari isi
yang terkandung didalam Piagam Madinah. Sebagai piagam tertulis pertama umat
manusia yang dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad, SAW dengan
wakil-wakil penduduk kota Yasrib, pada tahun 622 Masehi. secara keseluruhan
piagam ini berisi dua nilai dasar konstitusionalisme pada zaman itu yang
pertama adalah persamaan dihadapan hukum yang tertuang dalam prinsip persatuan
ketigabelas golongan etnis dan suku di dalam kota Madinah untuk bahu-membahu
melakukan pertahanan atas kelompok yang akan menyerang kota Madinah tanpa
membedakan jenis keturunannya Arab atau Yahudi atau asal agamanya maupun tempat
kelahirannya apakah itu muslim muhajirin ataukah muslim anshar semuanya bersatu
dengan prinsip persatuan yang termaktub dalam pasal satu Piagam Madinah “innahum ummatan wahidatan min duuni al-naas”[ii]
atau sesungguhnya mereka adalah umat yang satu lain dari komunitas manusia yang
lain.
Prinsip kedua adalah prinsip kebebasan yang terdapat dalm kebebasan
beragama prinsip ini menjelaskan hubungan antara ketigabelas golongan tersebut
bahwa dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan telah dijamin kebebasan
beragama. Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi kaum Mukminin agama mereka merupakan
tafsiran dari rumusan Al Qur’an yakni “lakum
diinukum walyadiin” bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Kedua prinsip ini
adalah prinsip yang wajib dijaga sehingga penentangan terhadap prinsip tersebut
baik itu dari golongan manapun akan dianggap sebagai zalim dan khianat.
Konstitusionalisme modern juga menganut prinsip-prinsip yang sama dengan
yang tercantum dalam Piagam Madinah walaupun sudah lebih dikembangkan dengan
tujuan negara yang lebih kompleks daripada pada masa abad pertengahan. Menurut Friedrich
konstitusionalisme modern didefinisikan sebagai “an institusionalised sistem
of effective, regularized restrain upon governmental action” yaitu suatu sistem
yang terlembagakan menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur terhadap
tindakan-tindakan pemerintahan. Dengan demikian menurut friedrich persoalan
yang terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pembatasan
kekuasaan pemerintahan yang berbasis pokok pada kesepakatan umum atau
persetujuan “consensus” diantara
mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.
Konsep ideal bangunan negara inilah yang di rangkum dalam konstitusionalisme
yaitu memandang konstitusi tidak sekedar dari sah dan berlakunya suatu norma
dasar tersebut namun dilihat dari “right
or wrong constitusion” atau dalam bahasa yang lebih mudah Aristoteles menyederhanakannya
menjadi “konstitusi yang normal” dan “konstitusi yang tidak normal”. Normal
artinya konstitusi tersebut mengandung prinsip-prinsip yang baik dan berlaku
universal bagi seluruh bangsa bahwa nilai-nilai yang terkandung mengandung
nilai-nilai yang baik dan bernuansa keadaban. Nilai-nilai konstitusionalisme
modern menurut Dr. Hardjono juga dapat dibedakan menjadi sifat kekhasannya ada
yang berlaku universal dan ada yang unik tergantung pada setiap kesepakatan
umum negara bangsa (nation state),
namun hal yang unik tersebut tidak boleh bertentangan dengan yang universal
agar konstitusi yang dihasilkan tidak menjadi konstitusi yang buruk.
Nilai-nilai universal konstitusionalsime menurut Dr. Harjono harus memuat
prinsip-prinsip persamaan, (equalitiy
before the law) prinsip kebebasan, rule
of law dan demokrasi. Lebih lanjut menurut Dr. Harjono konstitusionalisme
inilah yang membedakan Konstitusi Korea Utara dan Konstitusi Korea Selatan atau
bahkan Konstitusi Korea Utara dengan Konstitusi Indonesia sekalipun. Benar
bahwa konstitui masing-masing negara adalah sah karena telah dibuat dan
disahkan oleh lembaga yang berwenang namun konstitusionalisme sebagai isme memandang tidak semua konstitusi
itu baik ada juga konstitusi yang buruk. Berdasarkan pola pemikiran tersebut diatas
menjadi menarik bagi penulis untuk menelisik lebih jauh tentang
konstitusionalisme dalam konstitusi di Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah konstitusionalisme dalam konstitusi
di Indonesia?
PEMBAHASAN
Pasca proklamasi 17 Agustus 1945 Indonesia secara resmi mensahkan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai staatfundamental norm atau ground norm dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Walaupun Undang-Undang
Dasar ini telah melalui proses panjang antara antinomi kepentingan-kepentingan
baik itu Kaum Islam, Kaum Nasionalis dan Kaum Komunis di dalam Sidang
Konstituante ditahun 1955 ternyata melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Undang-Undang
Dasar 1945 ditetapkan kembali sebagai dasar negara yang tetap berlaku hingga
kini.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945 terkandung pembukaan, dan batang tubuh
pasal-pasal yang mana dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar telah dilakukan
perubahan amandemen sebanyak empat kali namun telah disepakati bersama untuk
pembukaan tidak diperbolehkan untuk diamandemen karena merubah pembukaan sama
saja artinya dengan mengubah negara atau meruntuhkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sesuai dengan pandangan Dr. Hardjono konstitusionalisme selain
memiliki nilai-nilai yang universal juga dapat memiliki nilai-nilai nasional
atau disebut konstitusionalisme nasional. Di Indonesia konstitusionalisme
nasional dapat di lihat dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945.
Konstitusionalisme nasional Indonesia dapat dilihat dari hakikat tujuan
dari dibentuknya konstitusi dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Dari
segi hakikat perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan suatu perdebatan
panjang mengenai bentuk dan Dasar Negara Indonesia yang berlangsung di Sidang-Sidang Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), suatu badan yang dibentuk
Pemerintah Militer Jepang pada bulan April 1945. Dalam perdebatan-perdebatan
para founding father tersebut yang
tergabung baik dalam BPUPKI dan PPKI terumus berbagai model dan
pemikiran-pemikiran nasionalisme yang telah ada untuk dicari padanannya dan
diambil intisari sebagai contoh bagi Bangsa Indonesia yang baru lahir.
Konstitusionalisme Indonesia akhirnya menolak konsep konstitusi model
Barat sekaligus model Islam yang berasal dari Timur-Tengah. Tesis utamanya adalah
bahwa dasar negara dan model negara harus ditemukan dari dalam diri Bangsa Indonesia
sendiri, atas dasar khas Indonesia. Pandangan yang kemudian menonjol dan
menjadi rumusan dasar negara adalah pandangan Soepomo dan pandangan Soekarno.
Soepomo tampil dengan gagasan negara integralistik sementara Soekarno dengan
gagasan Pancasila. Gagasan Soepomo dan Soekarno yang dinilai kemudian banyak menjiwai
penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, dengan konsep-konsep seperti kekeluargaan
dan gotong royong.
Dari segi nilai-nilai yang terkandung didalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 konstitusionalisme nasional Indonesia menggambarkan nilai-nilai luhur
perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Perjuangan ini adalah
perjuangan tak kenal lelah dari para pendahulu-pendahulu bangsa dari penindasan
penjajahan selama 350 tahun. Menurut Dr. Busjro Muqoddas setidak-tidaknya ada
tiga nilai utama dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yakni nilai Transendental,
Nilai Humanisasi dan Nilai Liberalisasi.
Nilai-nilai Transendental adalah nilai religiusitas dari bangsa Indonesia
yang memandang kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlepas dari rahmat dan skenario
ilahiah bukan hanya berasal dari usaha keras semata. Dapat dilihat dalam alinea
ketiga pembukaan undang-undang dasar 1945 “Atas
berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan
luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia
menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Nilai Humanisasi adalah suatu pendobrakan terhadap sendi-sendi hukum kolonial
dan merupakan usaha untuk menaikkan derajat dan harkat bangsa Indonesia kembali
menjadi bangsa yang memiliki nilai-nilai keadaban dan setara dengan
bangsa-bangsa lain sebagaimana saat sebelum Bangsa Indonesia mengalami
penjajahan tercantum dalam alinea pertama, “Bahwa
sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”.
Terakhir Nilai Liberalisasi adalah mengenai ideologi pemerdekaan, pembebasan
terhadap belenggu-belenggu kolonial yang telah mengkerdilkan bangsa Indonesia
menjadi hanya sapi perahan dan suatu bangsa yang yang dijadikan komoditas
terutama oleh imperialisme dan kolonialisme dan ini semua terangkum dalam
alinea kedua, “Dan perjuangan pergerakan
kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan
selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang
kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur”.
Nilai-nilai transcendental, humanis dan liberalisasi di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 ini diwujudkan dalam bentuk suatu pemerintahan atau lahirnya Republik
Indonesia yang bekedaulatan rakyat dan berkedaulatan hukum yang memuat sumber
tertinggi dari hukum itu pada lima prinsip atau Pancasila “dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan
Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Sehingga tujuan akhir dari konstitusionalisme Indonesia adalah untuk
membentuk masyarakat Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur dan
sesuai dengan tujuan negara yakni “Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Untuk mewujudkan konstitusionalisme
sebagai nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia
maka diperlukan sebuah badan pemerintahan sebgai guardian power atau pengawal konstitusi.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat konstitusi di negara manapun di dunia
bukanlah undang-undang biasa karena ia tidak ditetapkan oleh badan legistlatif
namun oleh suatu badan yang lebih khusus dan lebih tinggi kedudukannya sehingga
apabila norma-norma undang-undang bertentangan dengan norma konstitusi lebih-lebih
dengan konstitusionalisme nasional maka ketentuan undang-undang dasar itulah
yang berlaku dan undang-undang harus memberikan jalan untuk itu (it prevails and the ordinary law must give
away)[iii].
Di Amerika, Mahkamah Agung Amerika Serikat
lah yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan dan menguji materi peraturan
produk legislatif (judicial power)
terhadap materi konstitusi meskipun Konstitusi Amerika secara eksplisit tidak memberikan kewenagan
tersebut kepada Mahkamah Agung (the
supreme court).
Di Indonesia pembentukan suatu badan yang dapat memiliki kewenangan judicial review terhadap undang-undang
dilakukan setelah reformasi berupa amandemen keempat terhadap batang tubuh Undang-Undang
Dasar khususnya Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dimana ada dua mahkamah
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi kekuasaan kehakiman yakni Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi.
Sejak terbentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 mulailah mengalir
gugatan-gugatan warganegara terhadap undang-undang yang dinilai telah
menyimpang dari konstitusi dan tidak kontitusional pemberlakukannya di Indonesia.
Ini dapat dipahami sebab sesuai dengan disertasi Prof. Mahfud MD bahwa hukum
adalah produk politik sehingga ada saatnya hukum berada pada variable
terpengaruh (dependent variable)[iv] dari
politik yaitu saat pembentukan undang-undang di legislatif yang mana merupakan
kristalisasi dari kepentingan-kepentingan politik yang dibawa oleh
masing-masing fraksi di DPR.
Oleh karena itu konstitusionalisme di Indonesia kini telah memasuki babak
baru tidak hanya dipahami sebagai nilia-nilai yang tercantum dalam teks Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 namun juga telah ditegakan, dilindungi, diawasi, dan
dijadikan batu uji terhadap pembentukan perundang-undangan di Indonesia.
Bagaimana tidak?, kini seorang warganegara Indonesia yang merasa hak-hak
konstitusionalnya dilanggar oleh pembentukan perundang-undangan yang dilakukan
oleh 500 anggota DPR dapat mengadukan dan memohonkan pembatalannya kepada
sembilan orang hakim konstitusi (the
guardian of constitusion).
KESIMPULAN
Konstitusionalisme dalam konstitusi di Indonesia dapat dilihat dari
hakikat tujuan dari dibentuknya konstitusi dan nilai-nilai yang terkandung
didalamnya. Dari segi hakikat perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan suatu perdebatan panjang mengenai bentuk dan Dasar Negara Indonesia yang
berlangsung di Sidang-Sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), suatu badan yang
dibentuk Pemerintah Militer Jepang pada bulan April 1945. Dalam
perdebatan-perdebatan para founding
father tersebut yang tergabung baik dalam BPUPKI dan PPKI terumus berbagai
model dan pemikiran-pemikiran nasionalisme yang telah ada untuk dicari
padanannya dan diambil intisari sebagai contoh bagi bangsa Indonesia yang baru
lahir.
Dari segi nilai-nilai yang terkandung didalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 konstitusionalisme nasional Indonesia menggambarkan nilai-nilai
luhur perjuangan rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan. Perjuangan ini
adalah perjuangan tak kenal lelah dari para pendahulu-pendahulu bangsa dari
penindasan penjajahan selama 350 tahun. Menurut Dr. Busjro Muqoddas setidak-tidaknya
ada tiga nilai utama dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yakni Nilai
Transendental, Nilai Humanisasi dan Nilai Liberalisasi.
Konstitusionalisme di Indonesia telah memasuki babak baru sejak
terbentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 yakni tidak hanya dipahami
sebagai nilai-nilai yang tercantum dalam teks pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 namun juga telah ditegakan, dilindungi, diawasi, dan dijadikan batu uji
terhadap pembentukan perundang-undangan di Indonesia oleh sembilan orang hakim
konstitusi sebagai the guardian of
constitusion.
[i] Jimly
Asshiddiqie, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dalam http://www.jimly.com/, Akses 11 Agustus 2015.
[ii] Jimly
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara,
Jilid Satu, (Jakarta: Sekertariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm.
108.
[iii] Jimly
Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum … op.cit,
hlm. 173.
[iv]
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,
Cetakan Keenam, (Depok: Rajawali Press, 2014), hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar