Hubungan antara
Revolusi Sosial dengan Kebijakan-Kebijakan Negara yang Berbasis Pada Filsafat
Hukum
Oleh : Yuristyawan
Pambudi Wicaksana, SH
Filsafat
secara etimologis berasal dari dua kata yaitu philos, philein, phila yang berarti cinta atau keinginan dan sophia yang berarti kebijaksanaan bila
disatukan adalah mencintai kebijaksanaan atau menginginkan kebijaksanaan[1]. Secara
terminologis filsafat berarti suatu kegiatan intelektual, yang metodis dan
sistematis, melalui jalan refleksi menangkap makna yang hakiki keseluruhan yang
ada dan gejala-gejala yang termasuk keseluruhan itu[2].
Berfikir filsafat menurut Dr. Busjro Muqoddas adalah berfikir untuk
mencari kebenaran, namun harus didukung oleh empat ciri dari filsafat yaitu pola pikir yang radikal, logik, integral dan sistematik.
mencari kebenaran, namun harus didukung oleh empat ciri dari filsafat yaitu pola pikir yang radikal, logik, integral dan sistematik.
Bidang kajian
filsafat sangat luas meliputi seluruh dimensi baik itu yang digolongkan dalam
dimensi empiris (phenomena) dan
dimensi diluar empiris yaitu methaphisik
(nomena). Filsafat dikatakan sebagai
induk dari ilmu pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan bidang kajiannya hanya
terbatas pada wilayah phenomena atau
dimensi empiris. Hukum sebagai ilmu pengetahuan hanya menyentuh phenomena atau kajian-kajian formal
dalam kaidah-kaidah normatif peraturan perundang-undangan, namun apabila hukum
dalam kedudukannya sebagai filsafat hukum maka bidang kajiannya sudah melampaui
sifat formal yaitu meliputi pula substansi makna dibalik teks-teks norma yang
berlaku yaitu asas-asas atau nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Apabila
kita sepakat dengan pendapat Gustav
Radbruch tugas filsafat hukum adalah “merumuskan
cita-cita politik dalam pengertian-pengertian keadilan dan tata hukum”,
maka nilai-nilai yang dimaksud untuk digali dalam setiap kebijakan negara
adalah nilai-nilai keadilan.
Keadilan
sendiri merupakan suatu nilai asasi yang bermakna luas. Para pakar hukum
sendiri saling memaknai keadilan sesuai dengan ruang dan waktu terlihat berbeda
dari segi definisi namun apabila ditinjau dari segi kesamaanya ada intisari
yang dapat ditarik didalamnya. Keadilan menurut Dr. Busjro Muqoddas
disederhanakan berupa tindakan untuk “menempatkan
atau tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya”, yang mana keadilan sendiri
dipengaruhi oleh ruang atau situasi dan waktu atau kondisi dimana keadilan itu
diberlakukan, suatu perbuatan bisa dikatakan adil dalam situasi dan kondisi tertentu
belum tentu dapat dikatakan adil pula dalam situasi dan kondisi lain yang
berbeda.
Keadilan
disatu sisi bahkan dapat ditafsirkan sangat berbeda-beda dari satu individu
dengan individu yang lain dikarenakan kecendrungan masing-masing pada
kepentingan diri sendiri dengan tujuan dan sasaran yang berbeda-beda, disisi
lain justru karena kecendrungan
individu-individu pada kepentingan diri sendiri memerlukan saling perhatian
satu sama lain karena penafsiran keadilan yang sebebas-bebasnya oleh satu
individu dapat menimbulkan kesewenang-wenangan bagi individu-individu yang lain
oleh karena itu menimbulkan kebutuhan akan pembatasan-pembatasan yang merupakan
konsepsi bersama mengenai keadilan yaitu seperangkat prinsip untuk memberikan
hak-hak dasar dan kewajiban-kewajiban dasar atas kebutuhan untuk bagaimana
keuntungan dan beban masyarakat didistribusikan.
Terbentuknya
konsepsi bersama mengenai keadilan melahirkan kontrak fundamental dari asosiasi
manusia yang tertata dengan baik. Hal ini sesuai dengan teori kontrak sosial
yang diungkapkan oleh Thomas Hobbes, John
Locke dan J. J.Rosseau[3] yang
menyatakan bahwasanya pendirian suatu negara serta perolehan kekuasaan berasal
dari kesepakatan, perjanjian dan kontrak rakyat pada sang penguasa yang
kemudian mendirikan suatu negara yang mana John
Rawls[4]
menambahkan tujuan dari kesepakatan itu, atau tujuan dari kontrak rakyat itu
adalah mewujudkan prinsip-prinsip keadilan bagi struktur dasar masyarakat.
Negara sebagai
wujud sebuah tatanan masyarakat yang baik tidak hanya dirancang untuk
meningkatkan kesejahteraan warga negaranya namun juga harus secara efektif diatur
oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yakni konsepsi dimana setiap orang
menerima dan mengetahui bahwa orang lain dalam satu kesatuan asosiasi
masyarakatnya menganut prinsip keadilan yang sama, serta berdasarkan konsepsi
tersebut institusi-institusi sosial dasar terbentuk dan sejalan dengan
prinsip-prinsip tersebut. Tentunya konsepsi publik mengenai keadilan ini akan
berbeda-beda antara suatu tatanan masyarakat dengan tatanan masyarakat lain
sesuai dengan unsur-unsur masyarakat yang membentuk kontrak sosial dalam
mewujudkan negaranya masing-masing.
Dapat dipahami
Indonesia sejak kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 telah sepakat untuk menjadikan
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kontrak sosialnya yang
mana didalamnya terkandung konsepsi bersama mengenai keadilan untuk mewujudkan
kesejahteraan serta prinsip-prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sebagai kontrak sosial Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar ini tidak
dapat dirubah oleh karena itu penempatannya dalam sistem hukum Indonesia
ditempatkan sebagai Staatfundamentalnorm
atau norma hukum dasar yang mendasari norma-norma yang berada dibawahnya.
Perubahan terhadap Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar ini maka akan
menghancurkan kontrak sosial pembentukan Negara Republik Indonesia itu sendiri,
oleh karena itu Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan batu
uji prinsip-prinsip keadilan dalam realitas politik (kekuasaan negara dalam
bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang mencerminkan pengejawantahan
ruh, falsafah dan ideologi nasionalisme agar berjalan sesuai dengan rel yang
benar.
Dapat
disimpulkan dari uraian-uraian diatas bahwa Filsafat Hukum Indonesia adalah
usaha mencari kebenaran dengan menjadikan Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai batu uji terhadap realitas politik berbangsa dan bernegara
yang mencerminkan pengejawantahan ruh, falsafah dan ideologi nasionalisme demi
terwujudnya kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesejahteraan
dan keadilan tersebut tidak akan terwujud apabila kebijakan-kebijakan negara
yang timbul tidak mengindahkan tujuan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945[5].
Timbulnya perlawanan-perlawanan masyarakat Indonesia terhadap
kebijakan-kebijakan negara yang tidak menimbulkan kesejahteraan dan keadilan
dapat dipahami sebagai usaha-usaha rakyat dalam menuntut terpenuhinya kesepakatan-kesepakatan
yang terbentuk antara rakyat dan penguasa dalam hal ini pemerintah (eksekutif,
legislatif dan yudikatif) dalam kontrak sosial sebagai awal pembentukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Disinilah titik pertemuan filsafat hukum dan revolusi sosial
yang mana dirumuskan oleh Gustav Radbruch sebagai, “Semua perubahan politik yang besar telah dipersiapkan sebelumnya atau
dipengaruhi filsafat hukum. Filsafat hukum ada pada tahap awal , dan revolusi di tahap akhir “.
Kebijakan-kebijakan
Negara yang bertentangan dengan isi dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
akan menimbulkan gejolak sosial dimasyarakat yang memunculkan dikotomi-dikotomi
sosial baik itu pada bidang ekonomi antara pemilik modal atau masyarakat yang
mengusai sumber-sumber produksi dan masyarakat bawah yang tidak menguasainya
atau pada bidang politik antara masyarakat yang memiliki kekuasaan dengan
mereka yang termarginalkan oleh kekuasan.
Gejolak
masyarakat yang resah akan kesejahteraan dan keadilan yang diidam-idamkan
sebagai konsekuensi janji yang harus diwujudkan dalam kontrak sosial akan
menghasilkan revolusi sosial yang akan mengembalikan tatanan-tatanan hukum, sosial,
ekonomi dan politik kembali sejalan dengan tujuan negara yang diamanahkan oleh Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Revolusi sosial pasca kemerdekaan Republik Indonesia
tidak lagi melibatkan kekerasan dan perjuangan berdarah namun lebih kepada
radikalisme proses sadar diri yaitu tahapan moral yang setiap orang secara
individu berani sadar pada otonominya. Menurut pandangan Dr. Mutiullah[6] model
revolusi ini memiliki dua dimensi yaitu dimensi individual dan dimensi sosial.
Dimensi individual terjadi apabila tiap-tiap orang melakukan proses eksistensi
diri tidak hanya dengan mendidik diri hingga tercerahkan budinya, tetapi
terpupuk pula intuisi akal sehatnya untuk menolak setiap irasionalitas yang membelenggu,
sementara dimensi sosial adalah kesadaran individu yang berkembang menjadi
kesadaran sosial dimana kesadaran bersama ini terus berkembang menjadi
kesadaran untuk memperjuangkan kepentingan pemerdekaan guna mewujudkan
perubahan sistem negara hukum yang berprinsip keadilan dan pemerataan
kesejahteraan.
Di Indonesia bentuk-bentuk
dari revolusi sosial ini dapat berupa revolusi masyarakat dan perubahan
konfigurasi politik Era Orde Lama ke Orde Baru, Era Orde Baru ke Era Reformasi
dan untuk lingkup yang lebih kecil adalah tuntutan-tuntutan Judicial Review dan Toetsing Recht dari masyarakat terhadap peraturan-perundang-undangan
atau kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan ruh, falsafah dan ideologi
nasionalisme ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung serta Peradilan Tata Usaha Negara
dibawahnya.
[1]
Catatan Perkuliahan Filsafat Hukum Islam Dr. Rohidin, Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
[2] Ibid,
[3]
Isnan Affandi, http://www.academia.edu/4652137/
Teori_Kontrak_Sosial_Thomas_Hobbes_dan_ John_ Locke_ Isnan.
[4]
John Rawls, “Teori Keadilan (dasar-dasar filsafat politik untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial dalam negara)”, Cetakan II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2011), hlm. 12.
[5]
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 juga tercantum sendi-sendi negara
yaitu Pancasila oleh karena itu penyebutan pembukaan Undang-Undang Dasar dalam
tulisan ini sekaligus berarti Pancasila sebagai sendi negara.
[6]
Mutiullah, “Pemikiran Ali Syari'ati Tentang Revolusi dalam Perspektif Filsafat
Sosial dan Relevansinya dengan Perubahan Sosial di Indonesia”, (Fakultas
Filsafat UGM : Disertasi, 2013), hlm. 2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar